Jumat, 05 Desember 2008

IMPEACHMENT


PENDAHULUAN
Pasca bergulirnya roda reformasi, berbagai kemajuan mulai terlihat di Indonesia, Tegaknya supremasi hukum (Law Enforcement) sebagai salah satu amanat reformasi juga menjadi ilham untuk menciptakan perangkat pendukung bagi terciptanya cita ideal tersebut. Dan belajar dari sejarah pemberhentian (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid yang oleh sebagian kalangan dinilai cacat hukum dan lebih bernuansa politis. Tentu saja masalah ini telah memunculkan perdebatan ketatanegaraan dalam kaitan dengan pengaturan masalah impeachment tersebut karena UUD 1945 tidak menyediakan aturan yang jelas tentang impeachment. Dalam sejarah Indonesia, masalah ketatanegaraan yang sama pernah muncul juga ketika Presiden Soekarno di-Impeach oleh MPRS tahun 1968.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pasti akan terjadi sebuah dinamika yang biasanya terwujud dalam sebuah konflik atau sengketa. Guna menyelesaikan sengketa tersebut, maka sangat perlu dibuat sebuah lembaga peradilan yang berfungsi untuk menyelesaikan segala macam permasalahan/sengketa, baik sengketa antarwarganegara, warganegara dengan intitusi negara maupun sengketa antar institusi negara.
Perubahan ketiga Undang-undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 menetapkan bahwasanya Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945). Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya . Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak dapat lagi menjatuhkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya dimaksud. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dapat pula mengajukan mosi tidak percaya (motie van wantrouwen) terhadap kebijakan Presiden dan/atau wakil Presiden, sekalaipun dukungan DPR/DPD tetap dipandang efektif dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Tidak berararti, pengawasan (kontrol) DPR tidak ada lagi, utamanya dalam rangka menjalankan fungsi anggaran. Rancangan Undang-undang APBN diajukan Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang APBN yang dimaksud pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu (Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945). Pasal 20 A Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas mencantumkan bahwa DPR memiliki fungsi Legislasi, fungsi Anggaran dan fungsi Pengawasan.
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Namun demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden masih dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, Korupsi, Penyuapan, Tindak Pidana Berat lainnnya, atau Perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7 A UUD NRI Tahun 1945). Hal dimaksud merupakan pengecualian yang diberikan konstitusi bagi pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan langsung, yang sesungguhnya tidak dapat diberhentikan selama masa jabatan. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dimaksud merupakan kewenangan konstitusional MPR atas usul DPR. DPR adalah impeacher, mempersiapkan data bukti secara cermat, yang oleh hakim Konstitusi, H.A.S Natabaya diusulkan agar DPR mempersiapkan tim investigasi yang profesional sebelum mengajukan pendapatnya berkenaan hal pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Waki Presiden itu kepada Mahkamah Konstisusi. Pasal 7 B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diajukan DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (Pasal 7 B ayat 91) UUD NRI Tahun 1945. Putusan yang diminta DPR kepada mahkamah Konstitusi adalah putusan hukum (judicieele vonnis), bukan putusan politik (politieke Beslissing), berbeda halnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi maka putusan MPR yang berwenag memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden adalah putusan politik (politike beslissing). Hanya MPR yang memiliki kewenangan konstitusional guna memberhentikan presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7 A dan Pasal 7 B ayat (6),(7) UUD NRI Tahun 1945).

PROSEDUR (ACARA)
Pengajuan permintaan DPR kepada mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR (Pasal 7 B ayat (3) UUD NRI Tahun 1945). Pasal 80 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang mahkamah Konstitusi mensyaratkan bahwa DPR wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai dugaan bahwasanya Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghiatanatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. DPR dalam permohonannya, wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai pendapat DPR, risalah dan/atau berita acara rapat DPR, disertai bukti mengenai dugaan yang dinyatakan dalam risalah pendapat DPR (Pasal 80 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku Registrasi Perkara konstitusi (Pasal 81 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003). Dalam hal Presiden dan/atau wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 81 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003). Apabila mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan DPR tidak memenuhi persyaratan substansial permohonan sebagaimana dimaksud di atas maka amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Sebaliknya, apabila mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden tidak lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden, amar putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR (Pasal 83 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003). Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran Hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti tidak lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan atau/atau wakil Presiden, amar putusan menyatakan permohonan DPR ditolak (Pasal 83 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 tahun 2003). Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan dicatat dalam Registrasi Perkara Konstitusi (Pasal 7 B ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 84 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003). Putusan mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR, wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/atau wakil Presiden (Pasal 85 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003). Apabila mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden terbukti melakukan pelanggran hukum, atau perbuatan tercela, dan atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/wakil Presiden kepada MPR (Pasal 7 B ayat (5) UUD NRI Tahun 1945). MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 (tga puluh) hari sejak menerima usul tersebut (Pasal 7 B ayat 96) UUD NRI Tahun 1945). Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden harus diambil dalam Rapat Paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurang ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan dalam Rapat Paripurna MPR (Pasal 7 B ayat (7) UUD 1945.
Keputusan MPR yang memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatan dimaksud merupakan putusan politik (politieke beslissing), bukan putusan peradilan (judicieele vonnis). Pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya adalah kewenangan Konstitusional MPR, bukan kewenangan peradilan (rechspraak). Walaupun telah jatuh putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwasanya pendapat DPR tentang pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau wakil Presiden telah terbukti, namun MPR dapat menjatuhkan putusan lain sepanjang pertimbangan politik (politieke overweging) dalam Rapat Paripurna MPR menerima baik penjelasan yang dikemukakan oleh Presiden dan/atau wakil Presiden sehingga rapat memandang Presiden dan/atau wakil Presiden tidak perlu diberhentikan. Rapat Parupurna MPR terlebih dahulu memberi kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaika penjelasan sebelum rapat Paripurna menjatuhkan Putusan (vide Pasal 7 B ayat (7) UUD NRI Tahun 1945). Penjelasan sebagaimana dimaksud pasal konstitusi tersebut pada hakikatnya merupakan upaya pembelaan diri bagi Presiden dan atau/atau wakil Presiden. Tidak berarti putusan MPR mengenyampingkan putusan mahkamah Konstitusi, tetapi hal pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya itu memang merupakan constitutioneeele bevoegheden dari MPR. Dalam pada itu, Rapat Paripurna MPR yang memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden adalah sebatas memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dari jabatan publik kepala pemerintahan negara, dalam makna to removal from the office, tidak memasuki ranah penyidikan serta penuntutan pidana terhadap Presiden dan/atau wakil Presiden yang diberhentikan. Putusan politik (politike beslissing), bukan bagian dari proses penyidikan (opsporing) dan penuntutan.


















PENUTUP
Prosedur pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Pasal 7 A dan 7 B UUD NRI Tahun 1945 merupakan prosedur konstitusi dan bagian dari konstitusionalisme. Sehingga dilibatkannya Mahkamah Konstitusi dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terlepas dari pengalaman masa lalu dan merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem dan bangunan ketatanegaraan yang dikembangkan di Indonesia. Selain itu, keinginan untuk memberikan pembatasan agar seorang Persiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan bukan karena alasan politik belaka, tetapi juga memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.

0 komentar: