Selasa, 20 Januari 2009

Judicial Review UU No 10 Tahun 2008

keputusan MK yang membatalkan beberapa pasal dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 menimbulkan pro dan kontra. khusus mengenai sistem pemilihan dalam pemilihan anggota DPR, DPRD dan DPD, yang menghapus sistem nomor urut dalam menentukan caleg yang akan duduk di dewan terjadi tafsiran yang keliru dalam masyarakat. hasil keputusan tersebut dengan serta merta diasumsikan oleh publik bahwa sistem pemilihan menggunakan sistem suara terbanyak. padahal, hal tersebut tidak serta merta berlaku demikian. idealnya UU tersebut harus direvisi, namun tentunya dengan waktu yang sangat singkat, hal tersebut harus diurungkan. langkah konkrit yang harus segera dilakukan adalah, KPU sebagai pelaksana tekhnis pemilihan umum mesti segera mengeluarkan aturan KPU sehubungan dengan keputusan MK tersebut. sehingga jelaslah sistem apa yang akan digunakan dalam pemilihan anggota legislatif di Indonesia.

Jumat, 12 Desember 2008

SEJARAH SINGKAT HANS KELSEN

Hans kelsen lahir dari pasangan yahudi berbahasa Jerman di Prague, pada tanggal 11 Oktober 1881. Pada tahun 1884, Kelsen bersama orang tuanya pindah ke Wina dan menyelesaikan pendidikannya di kota tersebut. Kelsen berhasil menerbitkan buku pertamanya tahun 1905 dengan judul Die Staatslehre des Dante Alighieri, dan meraih gelar Doktornya di bidang Hukum setahun kemudian.
Pada tahun 1911, Kelsen mengajar di bidang hukum publik dan filsafat hukum di University Of Vienna. Selama perang dunia pertama, Kelsen juga menjadi Penasehat Departemen Militer dan Hukum Austria. Kelsen mendapatkan gelar Profesor penuh bidang Hukum Publik dan Hukum Administrasi tahun 1919, dan karena kedekatannya dengan Partai Sosial Demokrat Austria (Social Democratic Party/SDAP), maka Chancellor Pemerintahan Republik pertama Austria, Karl Renner, mempercayai Kelsen untuk menjadi penyusun Konstitusi Austria yang kemudian draft konstitusi tersebut ditetapkan tanpa perubahan berarti menjadi Konstitusi Austria pada tahun 1920. Setahun kemudian, Kelsen ditunjuk menjadi anggota Mahkamah Konstitusi Austria.
Pada awal tahun 1930, muncul sentimen anti semitic di kalangan Sosialis Kristen yang menyebabkan Kelsen diberhentikan dari Mahkamah Konstitusi Austria, sehingga Kelsen pindah ke Cologne dan mengajar di University of Cologne di bidang Hukum International. Namun pada tahun 1933, saat Nazi berkuasa, Kelsen diberhentikan dan pindah ke Jenewa.
Perang dunia kedua yang meletus di Eropa membuat Kelsen pada tahun 1940 memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat, dan mengajar di Harvard University sampai tahun 1942. Atas dukungan Roscoe Pound, yang mengakuinya sebagai ahli hukum dunia, Kelsen menjadi visiting professor di Departemen Ilmu Politik California University, Berkeley. Kemudian pada tahun 1945, Kelsen menjadi warga Negara Amerika Serikat dan menjadi penasehat pada United Nation War Crimes Comission di Washington, yang tugas utamanya adalah menyiapkan aspek hukum dan teknis pengadilan Nuremberg.
Selama hidupnya, Kelsen menerima 11 (sebelas) gelar Doktor Honoris Causa dari ChiUtrecht, Harvard, cago, Mexico, Berkeley, Salamanca, Berlin, Vienna, New York, Paris dan Salzburg. Walaupun telah pensiun tahun 1952, namun Kelsen tetap aktif dan produktif hingga akhir hayatnya. Hans Kelsen sang pencetus THE PURE THEORY of LAW (teori hukum murni), meninggal dunia di Berkeley, pada tanggal 19 April tahun 1973, pada usia 92 tahun, dengan meninggalkan sekitar 400 karya.
(disadur dari buku Teori Hans Kelsen tentang Hukum, yang ditulis oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at)

Jumat, 05 Desember 2008

FREIES ERMESSEN



Freies ermessen adalah sebuah istilah yang digunakan dalam bidang pemerintahan, yang menurut Marcus Lukman, diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Kewenangan ini diberikan oleh pemerintah atas dasar fungsi pemerintah, yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, dan kewenangan ini merupakan konsekuensi logis dari konsep Negara hukum modern (welfare state). Namun, tentu saja kewenangan ini (freies ermessen) tidak dapat digunakan tanpa batas dan haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Bertujuan untuk mengoptimalkan pelayanan publik
b. Merupakan tindakan aktif dari administrasi Negara
c. Dimungkinkan oleh hukum
d. Atas inisiatif sendiri
e. Bertujuan untuk penyelesaian masalah-masalah penting yang timbul secara mendadak.
f. Dapat dipertanggungjawabkan
Menurut Laica Marzuki, freies ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha Negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha Negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang kian komplek. Dalam prakteknya, freies ermessen, dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Belum ada peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelesaian secara konkrit terhadap suatu masalah tertentu, dimana masalah tersebut harus segera diselesaikan.
b. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya.
c. Adanya delegasi perundang-undangan, yang artinya aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri sebuah urusan, yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya, pemerintah daerah bebas untuk mengelola sumber-sumber keuangan daerah asalkan merupakan sumber yang sah.
Dalam ilmu Hukum Administrasi, freies ermessen ini diberikan hanya kepada pemerintah, dan ketika freies ermessen ini diwujudkan menjadi instrument yuridis yang tertulis, maka jadilah ia sebagai peraturan kebijaksanaan.

Sekilas Tentang Sumber Hukum


1. Pengertian
Di kalangan ahli hukum terjadi perbedaan pandangan tentang arti sumber hukum. Hal ini muncul karena pada kenyataannya terdapat beberapa arti dan jenis sumber hukum itu sendiri, ditambah lagi adanya perbedaan pemahaman terhadap sumber hukum. Kata sumber hukum itu sendiri sering kali digunakan dalam beberapa arti, yaitu: sebagai sumber di mana kita mengenal hukum, sebagai sumber terjadinya hukum, sebagai azas hukum, dan masih banyak lagi arti-arti yang lain. Namun, secara sederhana kita dapat mengartikan sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum serta tempat ditemukannya aturan-aturan hukum. Berikut adalah beberapa jenis dari sumber hukum itu sendiri:
A. Sumber hukum materiil
Adalah faktor-faktor yang ikut mempengaruhi isi atau materi dari aturan-aturan hukum (SF. Marbun & Moh. Mahfud), yang terbagi lagi dalam tiga jenis, sebagai berikut:
1. Sumber hukum historis, meliputi sistem-sistem hukum di masa lalu atau sebagai sumber pengenalan, penemuan hukum pada saat tertentu. Artinya, dengan memahami asal muasal atau sejarah hukum tentunya akan membuat pemahaman terhadap hukum tertentu akan lebih baik.
2. Sumber hukum sosiologis, artinya, peraturan hukum tertentu mencerminkan kenyataan yang hidup di dalam masyarakat. Pengertian ini meliputi faktor-faktor sosial yang mempengaruhi isi hukum positif.
3. Sumber hukum filosofis, mengandung makna bahwasanya hukum sebagai kaidah perilaku memuat nilai-nilai positif yang menjadi rujukan dan cita hukum dari masyarakat.
B. sumber hukum formal
adalah berbagai bentuk aturan hukum yang ada atau sumber di mana peraturan-peraturan memperoleh kekuatan hukum. Sumber hukum formal ini meliputi: peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan doktrin (doktrin yang dimaksud adalah ajaran hukum atau pendapat para pakar hukum yang digunakan secara umum).

IMPEACHMENT


PENDAHULUAN
Pasca bergulirnya roda reformasi, berbagai kemajuan mulai terlihat di Indonesia, Tegaknya supremasi hukum (Law Enforcement) sebagai salah satu amanat reformasi juga menjadi ilham untuk menciptakan perangkat pendukung bagi terciptanya cita ideal tersebut. Dan belajar dari sejarah pemberhentian (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid yang oleh sebagian kalangan dinilai cacat hukum dan lebih bernuansa politis. Tentu saja masalah ini telah memunculkan perdebatan ketatanegaraan dalam kaitan dengan pengaturan masalah impeachment tersebut karena UUD 1945 tidak menyediakan aturan yang jelas tentang impeachment. Dalam sejarah Indonesia, masalah ketatanegaraan yang sama pernah muncul juga ketika Presiden Soekarno di-Impeach oleh MPRS tahun 1968.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara pasti akan terjadi sebuah dinamika yang biasanya terwujud dalam sebuah konflik atau sengketa. Guna menyelesaikan sengketa tersebut, maka sangat perlu dibuat sebuah lembaga peradilan yang berfungsi untuk menyelesaikan segala macam permasalahan/sengketa, baik sengketa antarwarganegara, warganegara dengan intitusi negara maupun sengketa antar institusi negara.
Perubahan ketiga Undang-undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 menetapkan bahwasanya Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945). Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya . Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak dapat lagi menjatuhkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya dimaksud. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dapat pula mengajukan mosi tidak percaya (motie van wantrouwen) terhadap kebijakan Presiden dan/atau wakil Presiden, sekalaipun dukungan DPR/DPD tetap dipandang efektif dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Tidak berararti, pengawasan (kontrol) DPR tidak ada lagi, utamanya dalam rangka menjalankan fungsi anggaran. Rancangan Undang-undang APBN diajukan Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang APBN yang dimaksud pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu (Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945). Pasal 20 A Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas mencantumkan bahwa DPR memiliki fungsi Legislasi, fungsi Anggaran dan fungsi Pengawasan.
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Namun demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden masih dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, Korupsi, Penyuapan, Tindak Pidana Berat lainnnya, atau Perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7 A UUD NRI Tahun 1945). Hal dimaksud merupakan pengecualian yang diberikan konstitusi bagi pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan langsung, yang sesungguhnya tidak dapat diberhentikan selama masa jabatan. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dimaksud merupakan kewenangan konstitusional MPR atas usul DPR. DPR adalah impeacher, mempersiapkan data bukti secara cermat, yang oleh hakim Konstitusi, H.A.S Natabaya diusulkan agar DPR mempersiapkan tim investigasi yang profesional sebelum mengajukan pendapatnya berkenaan hal pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Waki Presiden itu kepada Mahkamah Konstisusi. Pasal 7 B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diajukan DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (Pasal 7 B ayat 91) UUD NRI Tahun 1945. Putusan yang diminta DPR kepada mahkamah Konstitusi adalah putusan hukum (judicieele vonnis), bukan putusan politik (politieke Beslissing), berbeda halnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi maka putusan MPR yang berwenag memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden adalah putusan politik (politike beslissing). Hanya MPR yang memiliki kewenangan konstitusional guna memberhentikan presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7 A dan Pasal 7 B ayat (6),(7) UUD NRI Tahun 1945).

PROSEDUR (ACARA)
Pengajuan permintaan DPR kepada mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR (Pasal 7 B ayat (3) UUD NRI Tahun 1945). Pasal 80 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang mahkamah Konstitusi mensyaratkan bahwa DPR wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai dugaan bahwasanya Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghiatanatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. DPR dalam permohonannya, wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai pendapat DPR, risalah dan/atau berita acara rapat DPR, disertai bukti mengenai dugaan yang dinyatakan dalam risalah pendapat DPR (Pasal 80 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku Registrasi Perkara konstitusi (Pasal 81 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003). Dalam hal Presiden dan/atau wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 81 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003). Apabila mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan DPR tidak memenuhi persyaratan substansial permohonan sebagaimana dimaksud di atas maka amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Sebaliknya, apabila mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden tidak lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden, amar putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR (Pasal 83 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003). Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran Hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti tidak lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan atau/atau wakil Presiden, amar putusan menyatakan permohonan DPR ditolak (Pasal 83 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 tahun 2003). Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan dicatat dalam Registrasi Perkara Konstitusi (Pasal 7 B ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 84 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003). Putusan mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR, wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/atau wakil Presiden (Pasal 85 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003). Apabila mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden terbukti melakukan pelanggran hukum, atau perbuatan tercela, dan atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/wakil Presiden kepada MPR (Pasal 7 B ayat (5) UUD NRI Tahun 1945). MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 (tga puluh) hari sejak menerima usul tersebut (Pasal 7 B ayat 96) UUD NRI Tahun 1945). Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden harus diambil dalam Rapat Paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurang ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan dalam Rapat Paripurna MPR (Pasal 7 B ayat (7) UUD 1945.
Keputusan MPR yang memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatan dimaksud merupakan putusan politik (politieke beslissing), bukan putusan peradilan (judicieele vonnis). Pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya adalah kewenangan Konstitusional MPR, bukan kewenangan peradilan (rechspraak). Walaupun telah jatuh putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwasanya pendapat DPR tentang pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau wakil Presiden telah terbukti, namun MPR dapat menjatuhkan putusan lain sepanjang pertimbangan politik (politieke overweging) dalam Rapat Paripurna MPR menerima baik penjelasan yang dikemukakan oleh Presiden dan/atau wakil Presiden sehingga rapat memandang Presiden dan/atau wakil Presiden tidak perlu diberhentikan. Rapat Parupurna MPR terlebih dahulu memberi kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden menyampaika penjelasan sebelum rapat Paripurna menjatuhkan Putusan (vide Pasal 7 B ayat (7) UUD NRI Tahun 1945). Penjelasan sebagaimana dimaksud pasal konstitusi tersebut pada hakikatnya merupakan upaya pembelaan diri bagi Presiden dan atau/atau wakil Presiden. Tidak berarti putusan MPR mengenyampingkan putusan mahkamah Konstitusi, tetapi hal pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya itu memang merupakan constitutioneeele bevoegheden dari MPR. Dalam pada itu, Rapat Paripurna MPR yang memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden adalah sebatas memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dari jabatan publik kepala pemerintahan negara, dalam makna to removal from the office, tidak memasuki ranah penyidikan serta penuntutan pidana terhadap Presiden dan/atau wakil Presiden yang diberhentikan. Putusan politik (politike beslissing), bukan bagian dari proses penyidikan (opsporing) dan penuntutan.


















PENUTUP
Prosedur pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Pasal 7 A dan 7 B UUD NRI Tahun 1945 merupakan prosedur konstitusi dan bagian dari konstitusionalisme. Sehingga dilibatkannya Mahkamah Konstitusi dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terlepas dari pengalaman masa lalu dan merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem dan bangunan ketatanegaraan yang dikembangkan di Indonesia. Selain itu, keinginan untuk memberikan pembatasan agar seorang Persiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan bukan karena alasan politik belaka, tetapi juga memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.

Rabu, 03 Desember 2008

Perbandingan Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dalam posisinya sebagai salah satu negara berkembang di dunia berusaha membuat pembenahan di segala bidang dan berbagai aspek untuk mengangkat ketertinggalannya. Dengan perbaikan melalui pembangunan itu ternyata di dalamnya terjadi setumpuk persoalan yang tak terselesaikan. Salah satunya adalah korupsi yang terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang terlibat didalamnya. Dengan kondisi tersebut, sebuah predikat berhasil dipegang oleh Indonesia antara lain sebagai negara terkorup di dunia. Hasil riset tersebut menyatakan bahwa Indonesia berada pada ‘peringkat atas’ dalam hal korupsi. Dengan skala 0 – 10 yang mencerminkan korupsi paling parah hingga yang paling bersih tingkat korupsinya, Indonesia memperoleh skor 1,94. Dalam survei tersebut ternyata Indonesia adalah satu-satunya negara yang berada pada skor di bawah 2.

Penilaian masyarakat dunia terhadap tingkat korupsi di Indonesia melalui penelitian tersebut menunjukkan tingginya tingkat korupsi di Indonesia dibandingkan beberapa negara di dunia. Kondisi inilah yang menjadi fokus berbagai kalangan baik masyarakat maupun pemerintah dalam upaya memberantas korupsi dari berbagai perspektif. Salah satunya adalah pemberantasan korupsi dengan menegakkan hukum (dalam hal ini melaksanakan peraturan yang berlaku).

Kondisi hukum Indonesia secara umum selalu dicerminkan dari aparat dan perangkat hukum yang ada meskipun secara sosiologis peran rakyatlah yang dibutuhkan untuk penegakannya. Tetapi konsep feodalisme yang masih tertata rapi menyebabkan aparat dan perangkat hukum menjadi tolok ukur penegakannya. Ternyata rakyat telah salah membuat pilihan, menjadikan aparat penegak hukum dan perangkatnya sebagai acuan dalam penegakan hukum. Akibatnya kepercayaan rakyat pada ‘hukum’ secara keseluruhan menjadi runtuh. Yang terjadi adalah perilaku main hakim sendiri, ketidaktaatan pada aturan yang berlaku diikuti oleh pembangkangan sipil yang terjadi akhir-akhir ini.

Penyebab ketidakpercayaan rakyat terhadap hukum antara lain: pertama, adalah independensi badan-badan peradilan. Kedua, politik hukum belum berpihak pada independensi peradilan sehingga rasa keadilan masyarakat mengalami ketimpangan. Kepentingan politik seringkali berdiri diatas segalanya sehingga hukum hanya menjadi alat politik untuk kepentingan perorangan atau sekelompok orang. Pembelaan kepentingan salah satu pihak yang berkuasa di muka pengadilan dapat dengan mudah mengalahkan kepentingan rakyat. Ketika kepentingan rakyat sering kali dikalahkan maka dapat ditebak putusan yang diharapkan oleh rakyat dapat adil akhirnya menyimpang karena melayani kepentingan penguasa. Ketiga, adanya praktek-praktek korup yang terjadi dalam proses penyelesaian suatu perkara.

Menurut hasil pra-penelitian ICW yang memfokuskan pada pola-pola penanganan korupsi di Mahkamah Agung dapat menjadi tolok ukur bahwa dalam proses penyelesaian perkara, praktek korup terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian perkara itu. Bagaimanapun juga penegakan hukum harus dilakukan.

Ketika berbicara ‘hukum’, orang cenderung mengupas beberapa aturan yang ada selain melihat hukum yang hidup dalam masyarakat . Namun saat ini aturan tertulis (hukum positif ) sering dilirik karena dianggap lebih mencerminkan kepastian hukum. Begitu pula dalam berbicara tentang korupsi, orang akan cenderung menengok pada aturan yang ada, meskipun aturan tersebut jauh dari kesempurnaan. Selain itu dalam penanganan kasus korupsi yang dibutuhkan adalah keberanian aparat penegak hukum untuk ‘benar-benar’ menerapkan aturan yang ada .

Perangkat hukum (peraturan perundang-undangan) yang ada hanya menjadi salah satu (bagian kecil) dari penegakan hukum termasuk dalam hal pemberantasan korupsi . Dengan perangkat itulah aparat penegak hukum ‘sudah seharusnya’ bergerak dan melakukan langkah-langkah progresif untuk melakasanakan komitmen memberantas korupsi.

Pelaksanaan Undang-Undang Korupsi secara umum belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu langkah yang perlu dilakukan oleh Indonesia adalah dengan mempelajari dan memperbandingkan penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan negara lain yang lebih berhasil dalam menangani tindak pidana korupsi, salah satunya adalah negara Jepang

B. Rumusan Masalah

- Bagaimanakah perbandingan penanganan tindak pidana korupsi antara Indonesia dengan Jepang?

BAB II

PEMBAHASAN

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda politik yang harus menjadi prioritas kabinet Indonesia Bersatu. Oleh sebab itu sejak mulainya pemerintahan SBY tanggal 20 Oktober 2004, Presiden menaruh perhatian dalam penanganan kasus korupsi. Hal ini tercermin dalam pengungkapan beberapa kasus besar antara lain tindak lanjut pengungkapan kasus pembobolan bank BNI 1946, kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), kasus illegal logging, kasus penyelundupan BBM Pertamina dan terakhir dugaan kasus korupsi di Mahkamah Agung

Namun demikian setelah satu tahun pemerintah SBY, tampaknya upaya pemberantasan korupsi masih terlalu sedikit dan terkesan berjalan di tempat. Tidak ada seorangpun yang bisa dituduh melakukannya karena pembuktian korupsi tidak menggunakan asas pembuktian terbalik. Yaitu pembuktian dengan metode pembuktian yang mendalilkan bahwa pihak yang diduga melakukan korupsi harus dapat memberikan bukti kekayaan yang dimilikinya diperoleh dengan cara yang wajar .Metode pembuktian terbalik akan mempermudah penyidik tindak pidana korupsi dalam menghadapi para koruptor yang dengan menyewa pengacara tangguh berupaya mencari celah hukum untuk menyatakan bahwa harta kekayaannya diperoleh dengan tidak melanggar hukum

Lebih parah lagi kalau penegak hukum itu sendiri telah tercemar korupsi. Ini merupakan lonceng kematian bagi pemberantasan korupsi, karena semua pilar negara mulai dari eksekutif pusat dan pemerintah daerah, anggota dewan atau legislator pusat maupun daerah , dan penegak hukum termasuk jaksa dan hakim serta aparat keamanan tidak ada yang "immune" dari korupsi.Faktor inilah yang membuat setiap upaya pemberantasan korupsi selalu menemui jalan buntu karena begitu kompleksnya permasalahan korupsi di Indonesia. Hal yang tampak sepele namun menyolok adalah tidak adanya perubahan di sektor pelayanan publik. Contoh sederhana pengurusan KTP masih dipungut biaya dan waktunya lama. Biaya administrasi untuk mengurus perijinan tidak seragam dan biaya yang dikeluarkan berbeda jauh dengan apa yang tertera pada aturan tertulis.

Informasi tentang aturan dan pelaksanaan selalu asimetris, sehingga ada peraturan yang pelaksanaannya tidak seragam atau ditutupi seperti misalnya kebijakan pembebasan fiskal bagi pemegang paspor RI yang mempunyai permanent resident ataupun berdomisili di luar negeri tidak dengan mudah dilaksanakan di lapangan.

Tidak ada sense of crisis dari para pejabat pemerintah, yang justru berlomba-lomba mengejar penampilan fisik baik kelembagaan maupun individu ketimbang memprioritaskan penanganan pelayanan publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa fungsi pengawasan baik internal lembaga pemerintah dalam bentuk Inspektorat Jenderal maupun eksternal berupa Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan hanyalah kosmetik dari sebuah sistem pemerintahan. Bahkan ada kecenderungan fungsi pengawasan ini menjadi mubazir pada saat tidak ada kewenangan eksekutorial dari putusannya.

Pembentukan berbagai komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan dan Komisi Judisial tidaklah memberikan efek siginifikan bagi pemberantasan korupsi. Hanya KPK yang mulai menunjukkan kinerjanya sejak pemerintahan SBY. Padahal lembaga pemberantas korupsi telah ada pada masa pemerintahan Presiden sebelumnya dengan nama Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKN).Pemberantasan korupsi menjadi semakin kompleks karena seiring dengan berjalannya waktu para pihak yang telah mendapatkan kekayaan pada masa Orde Baru dengan cara yang melawan hak rakyat, kembali masuk ke arena publik baik melalui lembaga formal seperti partai politik dan lembaga sosial maupun melalui jalur bisnis. Kesulitannya adalah bahwa korupsi di Indonesia sudah begitu kompleks, tidak hanya terjadi di kalangan pemerintah tepai sudah merambah ke seluruh lapisan masyarakat.Tidaklah mengherankan apabila seorang tukang parkir saja sudah menjadi agen dari korupsi struktural yang menjadi ujung tombak dalam pengumpulan uang parkir yang kabarnya selalu menguap.

Aparatur pemerintah sebagai motor penggerak pembangunan sudah sedemikian terbebani dengan korupsi ini sehingga tidak satupun dari institusi negara yang mempunyai standar minimal pelayanan publik yang memadai. Bahkan di beberapa instansi pemerintah, prosedur perijinan bukan menjadi bentuk pelayanan publik tetapi menjadi ladang untuk memungut dana secara melanggar hukum.

Banyak faktor yang melingkari diantaranya ialah: Pertama, nihilnya budaya rasa malu korupsi, padahal malu merupakan terapi psikologis untuk menurunkan derajat korupsi. Semakin tinggi rasa malu seseorang semakin tinggi pula tingkat kontrol psikologis untuk takut korupsi.

Dalam hal ini kita dapat belajar dari budaya Jepang yang mengunggulkan budaya rasa malu sebagai cara mengangkat derajat bangsa menjadi bangsa yang unggul di atas bangsa-bangsa yang lain.

Menurut laporan News Week pada tahun 2002 yang lalu sedikitnya 30.000 orang Jepang mati dengan jalan bunuh diri dan diduga keras penyebab tingginya angka itu adalah faktor "malu".

Kedua, lemahnya sanksi moral di tengah masyarakat terhadap koruptor. Tengoklah, realitas di masyarakat para koruptor kakap justru dipuji dan ditokohkan dalam masyarakat. Bagaimana tidak, karena koruptor biasanya dermawan di tengah masyarakat, dari donatur terbesar tempat ibadah, donatur utama panti asuhan, donatur tetap perayaan sosial di lingkungannya dan lain-lain. Artinya di satu sisi masyarakat membenci korupsi, tapi di sisi yang lain mereka amat menghargai, menghormati bahkan membutuhkan koruptor. Tak kalah pentingnya para koruptor di tengah masyarakat pada umumnya teramat lihai menarik simpati.

Dalam konteks budaya sesungguhnya masyarakat kita munafik dan penuh pertimbangan moral dalam memberi sanksi sosial. Seandainya masyarakat kita adalah masyarakat yang tidak munafik, sudah barang pasti tidak akan menerima uluran tangan dan bantuan dari para koruptor, bahkan mengisolirnya dari pergaulan sosial.

Sanksi sosial yang tampak sederhana ini dipastikan akan mampu mengeliminir dan meminimalisir perilaku takut korupsi. Untuk menumbuh kembangkan rasa malu korupsi budaya dapat diwujudkan dalam bentuk yang sederhana, yakni: perlunya mewujudkan budaya solidaritas anti korupsi sebagai bentuk rasa cinta negara Indonesia (nasionalisme) agaknya kita perlu menggelorakan slogan-slogan reflektif anti korupsi misalnya: "koruptor tak nasionalis", "koruptor adalah penjajah", "koruptor adalah teroris", "koruptor tidak beriman" dan lain-lain.

Sebagai bahan perbandingan banyak sekali kebiasaan kerja masyarakat Jepang yang dapat dijadikan bahan kajian untuk menumbuhkan etos kerja yang anti korupsi. Salah satunya adalah budaya "Hansei" yang terungkap dalam perilaku dan perkataan "Sumimasen" dan "Gomenasai". Perkataan ini selalu diucapkan orang Jepang apabila telah melakukan suatu tindakan yang dianggapnya merugikan orang lain atau melakukan kesalahan. Makna yang terkandung didalamnya suatu bentuk self-retrospection; yang menguji diri sendiri apakah sudah berbuat yang sesuai dengan aturan dan diakhiri dengan keinginan kuat untuk tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari.Wujud dari budaya Hansei ini jelas terungkap dalam kehidupan sehari-hari di segala sektor masyarakat termasuk dalam bidang pemerintahan. Menurut hemat penulis budaya Hansei ini adalah salah satu alasan mengapa pemerintahan PM Koizumi melakukan proses reformasi pemerintahan yang salah satunya sangat terkenal yaitu postal privatization.

PM Koizumi konsisten dengan janji kampanye untuk melakukan perubahan meskipun dengan resiko terjadinya pemutusan hubungan kerja di sektor yang telah lama menjadi mesin uang pemerintah. Untuk itu PM Koizumi segera merombak kabinetnya setelah memenangkan Pemilu yang dipercepat 11 September lalu. Belajar dari pengalaman Jepang tersebut mungkinkah Indonesia melakukan terobosan dengan menumbuhkan etos kerja baru dalam menjalankan aktivitas baik di sektor pemerintahan maupun sektor swasta.

Banyak pihak yang mengatakan bangsa Indonesia menjadi bangsa pemalas karena sejak kecil kita diberi cerita bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya dan makmur sentosa. Sedangkan di Jepang sejak dari kecil penduduknya diberitahu bahwa negeri Jepang miskin dan tidak mempunyai kekayaan alam, sehingga sejak kecil mereka dididik untuk bekerja keras untuk bisa hidup. Bahkan celakanya lagi ada pejabat di zaman Orde Baru yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia belum mampu mengurus diri sendiri, tapi tidak diberikan pendidikan yang memadai. Jadi rakyat yang bodoh merupakan keuntungan karena tidak akan berfikir dan mencari kebenaran.

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa meskipun keberadaan peraturan mengenai pemberantasan korupsi telah ada di Indonesia namun dalam hal pemberantasan korupsi, dibandingkan dengan Negara Jepang, Indonesia sangat tertinggal, hal ini disebabkan kenyataan bahwa Negara Jepang dalam pemberantasan korupsi tidak hanya menegakkan peraturan perundang-undangan akan tetapi menjunjung tinggi budaya dan moral yang berakar pada “rasa malu dan kesiapan bertanggungjawab atas kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan seorang pejabat selama menjabat”.

DAFTAR BACAAN

Glendoh. Kejahatan Korupsi. Makalah. Jakarta

http ://www.petra..ac.id/english/science/ social/korup.html

Lilik Mulyadi, 2000, Tindak Pidana Korupsi, Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999), Citra Aditya Bhakti, Bandung

Mugirahardjo . 1997. Korupsi Dalam Menyongsong Era Liberalisasi. Suara Pembaruan Online,

Seno Adji. Menuju UU Tindak Pidana Korupsi yang Efektif, Kompas Online, http www kompas com/9709/25/OPINIl menu html

Silalahi. 1997.Tak Perlu Dibentuk Badan Antikorupsi. Kompas Online, http:.//www-kompas.com/9706/23/POLITIK/tak-html

Wasingatu Zakiah, 2001, Penegakan Hukum Undang-Undang Korupsi, Makalah, Jakarta

Kritikan

1. Referensi pembahasan tidak aktual, dan sangat tidak relevan lg utk dimasukkan dalam pembahasan (pembahasan dititikberatkan pada masa jabatan tahun pertama SBY-JK, sehingga banyak hal yg udah tidak relevan dgn perkembangan masa kini)

2. Sikap pesimis terhadap lembaga2 penanganan korupsi berdasarkan pandangan masa lalu, padahal saat ini salah satu lembaga pemberantasan korupsi (KPK) telah menunjukkan kinerja yang positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

3. Perbandingan hukum terutama dalam penanganan tindak pidana korupsi tdk memenuhi unsur2 untuk dijadikan jawaban atas rumusan masalah, karena hanya memperbandingkan budaya/tradisi pencegahan korupsi, tetapi tidak memperbandingkan segala aspek dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, salah satunya mengenai peraturan perundangan tentang tindak pidana korupsi masing2 negara.

campur aduk...


campur aduk....
hehehehe..... terkesan semrawut, tp kata-kata itulah yang terlintas dalam benakku ketika membuat blog ini...
tentu saja bukan asal mencantumkan judul, tapi ini berdasarkan pemikiranku yang juga masih campur aduk.
menentukan satu jenis pembahasan saja dalam blog ini, menurut hemat saya, kurang menarik.
dengan memuat berbagai jenis tulisan/artikel atau apapun namax, mungkin saja akan mengundang ketertarikan orang-orang yang mengunjungi blog ini. dan mungkin saja, sekali masuk, beberapa pencarian mungkin akan tersedia. so, let's check this out...!!!