BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penilaian masyarakat dunia terhadap tingkat korupsi di
Kondisi hukum
Penyebab ketidakpercayaan rakyat terhadap hukum antara lain: pertama, adalah independensi badan-badan peradilan. Kedua, politik hukum belum berpihak pada independensi peradilan sehingga rasa keadilan masyarakat mengalami ketimpangan. Kepentingan politik seringkali berdiri diatas segalanya sehingga hukum hanya menjadi alat politik untuk kepentingan perorangan atau sekelompok orang. Pembelaan kepentingan salah satu pihak yang berkuasa di muka pengadilan dapat dengan mudah mengalahkan kepentingan rakyat. Ketika kepentingan rakyat sering kali dikalahkan maka dapat ditebak putusan yang diharapkan oleh rakyat dapat adil akhirnya menyimpang karena melayani kepentingan penguasa. Ketiga, adanya praktek-praktek korup yang terjadi dalam proses penyelesaian suatu perkara.
Menurut hasil pra-penelitian ICW yang memfokuskan pada pola-pola penanganan korupsi di Mahkamah Agung dapat menjadi tolok ukur bahwa dalam proses penyelesaian perkara, praktek korup terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian perkara itu. Bagaimanapun juga penegakan hukum harus dilakukan.
Ketika berbicara ‘hukum’, orang cenderung mengupas beberapa aturan yang ada selain melihat hukum yang hidup dalam masyarakat . Namun saat ini aturan tertulis (hukum positif ) sering dilirik karena dianggap lebih mencerminkan kepastian hukum. Begitu pula dalam berbicara tentang korupsi, orang akan cenderung menengok pada aturan yang ada, meskipun aturan tersebut jauh dari kesempurnaan. Selain itu dalam penanganan kasus korupsi yang dibutuhkan adalah keberanian aparat penegak hukum untuk ‘benar-benar’ menerapkan aturan yang ada .
Perangkat hukum (peraturan perundang-undangan) yang ada hanya menjadi salah satu (bagian kecil) dari penegakan hukum termasuk dalam hal pemberantasan korupsi . Dengan perangkat itulah aparat penegak hukum ‘sudah seharusnya’ bergerak dan melakukan langkah-langkah progresif untuk melakasanakan komitmen memberantas korupsi.
Pelaksanaan Undang-Undang Korupsi secara umum belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu langkah yang perlu dilakukan oleh Indonesia adalah dengan mempelajari dan memperbandingkan penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan negara lain yang lebih berhasil dalam menangani tindak pidana korupsi, salah satunya adalah negara Jepang
B. Rumusan Masalah
- Bagaimanakah perbandingan penanganan tindak pidana korupsi antara
BAB II
PEMBAHASAN
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda politik yang harus menjadi prioritas kabinet Indonesia Bersatu. Oleh sebab itu sejak mulainya pemerintahan SBY tanggal 20 Oktober 2004, Presiden menaruh perhatian dalam penanganan kasus korupsi. Hal ini tercermin dalam pengungkapan beberapa kasus besar antara lain tindak lanjut pengungkapan kasus pembobolan bank BNI 1946, kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), kasus illegal logging, kasus penyelundupan BBM Pertamina dan terakhir dugaan kasus korupsi di Mahkamah Agung
Namun demikian setelah satu tahun pemerintah SBY, tampaknya upaya pemberantasan korupsi masih terlalu sedikit dan terkesan berjalan di tempat. Tidak ada seorangpun yang bisa dituduh melakukannya karena pembuktian korupsi tidak menggunakan asas pembuktian terbalik. Yaitu pembuktian dengan metode pembuktian yang mendalilkan bahwa pihak yang diduga melakukan korupsi harus dapat memberikan bukti kekayaan yang dimilikinya diperoleh dengan cara yang wajar .Metode pembuktian terbalik akan mempermudah penyidik tindak pidana korupsi dalam menghadapi para koruptor yang dengan menyewa pengacara tangguh berupaya mencari celah hukum untuk menyatakan bahwa harta kekayaannya diperoleh dengan tidak melanggar hukum
Lebih parah lagi kalau penegak hukum itu sendiri telah tercemar korupsi. Ini merupakan lonceng kematian bagi pemberantasan korupsi, karena semua pilar negara mulai dari eksekutif pusat dan pemerintah daerah, anggota dewan atau legislator pusat maupun daerah , dan penegak hukum termasuk jaksa dan hakim serta aparat keamanan tidak ada yang "immune" dari korupsi.Faktor inilah yang membuat setiap upaya pemberantasan korupsi selalu menemui jalan buntu karena begitu kompleksnya permasalahan korupsi di Indonesia. Hal yang tampak sepele namun menyolok adalah tidak adanya perubahan di sektor pelayanan publik. Contoh sederhana pengurusan KTP masih dipungut biaya dan waktunya lama. Biaya administrasi untuk mengurus perijinan tidak seragam dan biaya yang dikeluarkan berbeda jauh dengan apa yang tertera pada aturan tertulis.
Informasi tentang aturan dan pelaksanaan selalu asimetris, sehingga ada peraturan yang pelaksanaannya tidak seragam atau ditutupi seperti misalnya kebijakan pembebasan fiskal bagi pemegang paspor RI yang mempunyai permanent resident ataupun berdomisili di luar negeri tidak dengan mudah dilaksanakan di lapangan.
Tidak ada sense of crisis dari para pejabat pemerintah, yang justru berlomba-lomba mengejar penampilan fisik baik kelembagaan maupun individu ketimbang memprioritaskan penanganan pelayanan publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa fungsi pengawasan baik internal lembaga pemerintah dalam bentuk Inspektorat Jenderal maupun eksternal berupa Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan hanyalah kosmetik dari sebuah sistem pemerintahan. Bahkan ada kecenderungan fungsi pengawasan ini menjadi mubazir pada saat tidak ada kewenangan eksekutorial dari putusannya.
Pembentukan berbagai komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan dan Komisi Judisial tidaklah memberikan efek siginifikan bagi pemberantasan korupsi. Hanya KPK yang mulai menunjukkan kinerjanya sejak pemerintahan SBY. Padahal lembaga pemberantas korupsi telah ada pada masa pemerintahan Presiden sebelumnya dengan nama Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKN).Pemberantasan korupsi menjadi semakin kompleks karena seiring dengan berjalannya waktu para pihak yang telah mendapatkan kekayaan pada masa Orde Baru dengan cara yang melawan hak rakyat, kembali masuk ke arena publik baik melalui lembaga formal seperti partai politik dan lembaga sosial maupun melalui jalur bisnis. Kesulitannya adalah bahwa korupsi di
Aparatur pemerintah sebagai motor penggerak pembangunan sudah sedemikian terbebani dengan korupsi ini sehingga tidak satupun dari institusi negara yang mempunyai standar minimal pelayanan publik yang memadai. Bahkan di beberapa instansi pemerintah, prosedur perijinan bukan menjadi bentuk pelayanan publik tetapi menjadi ladang untuk memungut dana secara melanggar hukum.
Banyak faktor yang melingkari diantaranya ialah: Pertama, nihilnya budaya rasa malu korupsi, padahal malu merupakan terapi psikologis untuk menurunkan derajat korupsi. Semakin tinggi rasa malu seseorang semakin tinggi pula tingkat kontrol psikologis untuk takut korupsi.
Dalam hal ini kita dapat belajar dari budaya Jepang yang mengunggulkan budaya rasa malu sebagai cara mengangkat derajat bangsa menjadi bangsa yang unggul di atas bangsa-bangsa yang lain.
Menurut laporan News Week pada tahun 2002 yang lalu sedikitnya 30.000 orang Jepang mati dengan jalan bunuh diri dan diduga keras penyebab tingginya angka itu adalah faktor "malu".
Kedua, lemahnya sanksi moral di tengah masyarakat terhadap koruptor. Tengoklah, realitas di masyarakat para koruptor kakap justru dipuji dan ditokohkan dalam masyarakat. Bagaimana tidak, karena koruptor biasanya dermawan di tengah masyarakat, dari donatur terbesar tempat ibadah, donatur utama panti asuhan, donatur tetap perayaan sosial di lingkungannya dan lain-lain. Artinya di satu sisi masyarakat membenci korupsi, tapi di sisi yang lain mereka amat menghargai, menghormati bahkan membutuhkan koruptor. Tak kalah pentingnya para koruptor di tengah masyarakat pada umumnya teramat lihai menarik simpati.
Dalam konteks budaya sesungguhnya masyarakat kita munafik dan penuh pertimbangan moral dalam memberi sanksi sosial. Seandainya masyarakat kita adalah masyarakat yang tidak munafik, sudah barang pasti tidak akan menerima uluran tangan dan bantuan dari para koruptor, bahkan mengisolirnya dari pergaulan sosial.
Sanksi sosial yang tampak sederhana ini dipastikan akan mampu mengeliminir dan meminimalisir perilaku takut korupsi. Untuk menumbuh kembangkan rasa malu korupsi budaya dapat diwujudkan dalam bentuk yang sederhana, yakni: perlunya mewujudkan budaya solidaritas anti korupsi sebagai bentuk rasa cinta negara Indonesia (nasionalisme) agaknya kita perlu menggelorakan slogan-slogan reflektif anti korupsi misalnya: "koruptor tak nasionalis", "koruptor adalah penjajah", "koruptor adalah teroris", "koruptor tidak beriman" dan lain-lain.
Sebagai bahan perbandingan banyak sekali kebiasaan kerja masyarakat Jepang yang dapat dijadikan bahan kajian untuk menumbuhkan etos kerja yang anti korupsi. Salah satunya adalah budaya "Hansei" yang terungkap dalam perilaku dan perkataan "Sumimasen" dan "Gomenasai". Perkataan ini selalu diucapkan orang Jepang apabila telah melakukan suatu tindakan yang dianggapnya merugikan orang lain atau melakukan kesalahan. Makna yang terkandung didalamnya suatu bentuk self-retrospection; yang menguji diri sendiri apakah sudah berbuat yang sesuai dengan aturan dan diakhiri dengan keinginan kuat untuk tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari.Wujud dari budaya Hansei ini jelas terungkap dalam kehidupan sehari-hari di segala sektor masyarakat termasuk dalam bidang pemerintahan. Menurut hemat penulis budaya Hansei ini adalah salah satu alasan mengapa pemerintahan PM Koizumi melakukan proses reformasi pemerintahan yang salah satunya sangat terkenal yaitu postal privatization.
PM Koizumi konsisten dengan janji kampanye untuk melakukan perubahan meskipun dengan resiko terjadinya pemutusan hubungan kerja di sektor yang telah lama menjadi mesin uang pemerintah. Untuk itu PM Koizumi segera merombak kabinetnya setelah memenangkan Pemilu yang dipercepat 11 September lalu. Belajar dari pengalaman Jepang tersebut mungkinkah
Banyak pihak yang mengatakan bangsa
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa meskipun keberadaan peraturan mengenai pemberantasan korupsi telah ada di Indonesia namun dalam hal pemberantasan korupsi, dibandingkan dengan Negara Jepang, Indonesia sangat tertinggal, hal ini disebabkan kenyataan bahwa Negara Jepang dalam pemberantasan korupsi tidak hanya menegakkan peraturan perundang-undangan akan tetapi menjunjung tinggi budaya dan moral yang berakar pada “rasa malu dan kesiapan bertanggungjawab atas kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan seorang pejabat selama menjabat”.
DAFTAR BACAAN
Glendoh. Kejahatan Korupsi. Makalah.
http ://www.petra..ac.id/english/science/ social/korup.html
Lilik Mulyadi, 2000, Tindak Pidana Korupsi, Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999), Citra Aditya Bhakti, Bandung
Mugirahardjo . 1997. Korupsi Dalam Menyongsong Era Liberalisasi. Suara Pembaruan Online,
Seno Adji. Menuju UU Tindak Pidana Korupsi yang Efektif, Kompas Online, http www kompas com/9709/25/OPINIl menu html
Silalahi. 1997.Tak Perlu Dibentuk Badan Antikorupsi. Kompas Online, http:.//www-kompas.com/9706/23/POLITIK/tak-html
Wasingatu Zakiah, 2001, Penegakan Hukum Undang-Undang Korupsi, Makalah,
Kritikan
1. Referensi pembahasan tidak aktual, dan sangat tidak relevan lg utk dimasukkan dalam pembahasan (pembahasan dititikberatkan pada masa jabatan tahun pertama SBY-JK, sehingga banyak hal yg udah tidak relevan dgn perkembangan masa kini)
2. Sikap pesimis terhadap lembaga2 penanganan korupsi berdasarkan pandangan masa lalu, padahal saat ini salah satu lembaga pemberantasan korupsi (KPK) telah menunjukkan kinerja yang positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
3. Perbandingan hukum terutama dalam penanganan tindak pidana korupsi tdk memenuhi unsur2 untuk dijadikan jawaban atas rumusan masalah, karena hanya memperbandingkan budaya/tradisi pencegahan korupsi, tetapi tidak memperbandingkan segala aspek dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, salah satunya mengenai peraturan perundangan tentang tindak pidana korupsi masing2 negara.
1 komentar:
INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA
Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi
hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah
dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru
menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi
gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku
Usaha?). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia?
David
(0274)9345675
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar